Showing posts with label Jalan-jalan. Show all posts
Showing posts with label Jalan-jalan. Show all posts

Wednesday, February 6, 2019

Mengunjungi Desa Talempong, Kabupaten Situbondo


Satu sudut perkampungan Desa Talempong

Sepekan ini saya lagi di kampung tanah kelahiran saya di Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Rupanya ada besan dari kerabat keluarga besar ibu yang meninggal dunia. Namun ibu dan keluarga besar ibu belum punya kesempatan untuk pergi takziah. Kendala utama yang mereka hadapi adalah jarak menuju lokasi yang cukup jauh meski masih dalam satu wilayah kabupaten. Mereka pun berencana untuk pergi takziah bersama-sama alias rombongan, emak-emak gitu lho.... Mumpung saya lagi di kampung, mereka sepakat untuk mencarter mobil saya saja dan saya menyetujuinya. (Lumayaaan, mereka bilang mau carter kan, bukan pinjam, kwkwkwk, dasar matre 😁)

Awalnya, kakak yang akan mengemudikan kendaraan dan membawa mereka. Tapi mendengar obrolan para emak itu tentang lokasi yang akan dituju, saya memutuskan untuk mengemudikan kendaaran sendiri. Jadilah hari ahad, 3 februari lalu, saya berkunjung ke Desa Talempong, Kecamatan Banyuglugur, Kabupaten Situbondo, untuk mengantarkan ibu dan kerabat-kerabat ibu yang semuanya adalah emak-emak takziah ke sana.

Ini adalah kunjungan pertama saya ke Desa Talempong. Sebuah desa yang berada di dataran tinggi wilayah barat Kabupaten Situbondo. Jaraknya sekitar 5 km menuju selatan dari jalan raya pantura terdekat di daerah Kecamatan Banyuglugur. Menuju lokasi, medan jalan yang harus saya tempuh adalah jalanan berkelok dan menanjak dengan lebar jalan yang beraspal nyaris tidak cukup untuk 2 kendaraan roda 4. Beberapa titik yang saya lalui cukup ekstrem, yaitu berupa tanjakan dengan bukit di satu sisi dan jurang di sisi lainnya. Alhamdulillah, kendaraan yang lalu lalang tidak banyak, jadi saya bisa leluasa berkendara tanpa khawatir terlalu ke pinggir mendekati bibir jurang atau ke tebing perbukitan.

Saya berdiri di jalan depan rumah yang berada tepat di sebelah rumah yang atapnya terlihat.
Sekilas seolah saya sedang berada di loteng, ya.

Seperti suasana alam pegunungan pada umumnya, suasana sepanjang perjalanan begitu indah dipandang dan menyejukkan. Musim hujan membuat pemandangan alam hutan didominasi oleh tanaman hijau yang terlihat sejauh mata memandang. Ada berbagai jenis tanaman hutan yang tumbuh di sana. Ada pula beberapa lahan yang dimanfaatkan penduduk sekitar untuk menanam padi dan palawija. Semuanya terlihat hijau dan subur. Benar-benar lokasi yang tepat untuk menyegarkan dan menghijaukan mata.

Saya sengaja mengemudikan kendaraan dengan kecepatan pelan hingga sedang. Selain karena beberapa medan yang cukup ekstrem, tentu saja agar saya bisa menikmati selama mungkin anugerah Allah yang begitu indah itu. Mengamati setiap objek yang tidak bisa ditemui di sekitar tempat tinggal menjadi sesuatu yang mengasikkan buat saya. Andai tidak sedang membawa penumpang "penting" yang semuanya emak-emak, ingin rasanya saya turun dan berhenti di beberapa titik untuk mengabadikan suasana sekitar dalam gambar. (Pingin narsis juga rasanya, haha...)

Air Terjun Talempong
Sumber foto: journeymyadventure.blogspot.com

Ada yang menarik, di papan nama yang terpasang di sisi jalan, saya baru tahu kalau di desa ini terdapat air terjun. Informasi yang saya dapat dari tuan rumah yang kami kunjungi, bahkan tidak hanya satu, tapi ada tiga air terjun. Namun yang ramai dikunjungi, khususnya saat hari libur, hanya satu lokasi air terjun, yang dikenal dengan nama Air Terjun Talempong. Nama Air Terjun Talempong diambil dari nama desa tempat air terjun itu berada. Hmm, saya jadi makin geregetan pingin datang ke desa ini lagi nanti. Sementara cukuplah saya puas menggali informasi dan menikmati suasana perkampungan Desa Talempong yang berada di lereng gunung.

(Tunggu cerita saya tentang Air Terjun Talempong setelah saya berkunjung ke sana, ya... Kapan waktunya saya nggak bisa janji. Ditunggu saja, haha... Tapi saya kok ragu sendiri ya sama janji emak-emak, eh, janji saya yang sudah emak-emak ini maksudnya. Kali ini cukup intip gambarnya saja dulu, yang saya peroleh lewat bantuan internet, hehe...)

Setelah 2 jam, acara takziah selesai. (Lama juga, ya? Biasalah emak-emak kalau ketemu, hihi.) Kami pun pamit kepada tuan rumah dan langsung cuuus naik ke kendaraan menuruni lereng gunung. Ternyata tidak ada satu pun dari emak-emak yang saya bawa, mengetahui kalau di desa ini terdapat air terjun. Mungkin emak-emak ini sudah begitu sibuk dengan urusan rumah dan keluarganya, karena mereka memang para emak "sejati". 

Jalanan menurun yang di kanan dan kirinya dipenuhi pepohonan hijau dan rindang

Sebagian lahan yang dimanfaatkan penduduk untuk bertani yang berada dekat dengan aliran sungai

Oya, di tengah jalan, mendekati jalanan yang menyempit, saya berpapasan dengan sebuah mobil. Dengan senang hati saya memilih untuk berhenti dan mempersilakan mobil itu lewat. Saya pun jadi punya kesempatan untuk mengabadikan sebagian pemandangan yang begitu menghijaukan itu. Melihat apa yang saya lakukan, terdengarlah celetukan riuh rendah para emak yang berada di mobil. (Maklumin ya, Mak. Emak yang satu ini emang narsis meski tidak terlalu kekinian, agak kudet, kwkwkwk.)

Alhamdulillah, selesai juga tugas saya mengantarkan para emak naik-naik ke puncak gunung, eh, ke lereng gunung Desa Talempong. Saya antarkan mereka semua kembali ke rumah masing-masing. Penumpang terakhir yang turun tidak lupa menyodorkan sejumlah uang bersama ucapan terima kasih yang begitu tulus terdengar di telinga saya. Rupanya ada yang memberi uang lebih sebagai bentuk terima kasih karena si emak sudah diantar hingga depan rumah meski jaraknya agak (sedikit) jauh. 

Ya Allah, begitu banyak nikmat yang telah Engkau berikan, alhamdulillah (lagi dan lagi)....
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang (mau) kamu dustakan?"


*Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook

#SemingguTigaPostingan
#jalanjalan

Thursday, March 31, 2016

Belajar Sejarah di Monumen dan Museum PETA

Gerbang masuk Monumen dan Museum PETA
Kemarin saya menemani Zahra melakukan kunjungan bersama teman-teman sekolahnya ke Monumen dan Museum PETA di kota Bogor. Berangkat sekitar jam 6 pagi dari Pamulang--Tangerang Selatan, sekitar satu setengah jam kemudian kami sudah sampai di lokasi Monmus (Monumen dan Museum). Perjalanan bisa dibilang lancar. Mungkin karena arahnya yang menjauh dari Jakarta di pagi hari. Monmus ini berada di Jalan Jenderal Sudirman Nomer 35 Bogor.

Tiba setengah jam lebih awal dari jadwal yang direncanakan, anak-anak, para guru dan orang tua menggunakan kesempatan itu untuk berfoto-foto di halaman luar Monmus. Terdapat dua patung besar, dua tank, dan satu prasasti di halaman depan itu. Kondisinya sangat baik dan terawat, sangat cocok untuk dijadikan teman ber-selfie dan ber-selwee ria. Lingkungan halamannya juga hijau dan sangat asri. Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikannya dalam sebuah foto.

Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman
Prasasti dari batu
Tank yang begitu gagah dan bersih
Jalan setapak yang dihiasi tanaman palm dan bunga-bunga
Melewati gerbang masuk Monmus, seperti melewati terowongan berjarak pendek. Kanan kirinya merupakan bangunan museum yang sudah ada berdiri sejak tahun 1900-an. Dalam bangunan itu terdapat beberapa diorama yang menggambarkan jejak pembentukan PETA dan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang merupakan cikal bakal terbentuknya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Berikut ini beberapa di antaranya:

Kesepakatan tokoh-tokoh negara Indonesia untuk mengupayakan berdirinya PETA (tahun 1943)
Kegiatan latihan di pusat pendidikan perwira PETA di Bogor (tahun 1943)
Pembentukan bataliyon-bataliyon PETA di daerah-daerah (tahun 1944)
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jl. Pegangsaan Timur no. 56
Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI (22 Agustus 1945)
Pemilihan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (12 November 1945)
Dari diorama-diorama yang ada, nuansa Jepang begitu kental terlihat dari pakaian dan aksesoris yang digunakan tentara PETA. Berbicara tentang PETA memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan tentara Jepang di negeri ini pada masa sebelum Indonesia merdeka, begitu kurang lebih penjelasan guide museum yang ada di sana. Informasi detil mengenai hal tersebut bisa ditanyakan langsung saat berkunjung ke Monmus yaaa...

Di dalam museum juga terdapat beberapa koleksi senjata. Yang unik, ternyata senjata-senjata itu berbahan kayu, hanya mesinnya saja yang dari besi. Dan untuk sementara, senjata-senjata itu non aktif, karena bagian mesinnya dilepas. Senjata-senjata itu merupakan hasil rampasan para pejuang Indonesia dari tangan Jepang. Jepang sendiri memperoleh senjata-senjata itu dari hasil merampas milik tentara sekutu. Haha, begitulah perang.

Beberapa koleksi senjata yang ada di dalam museum
Pemandangan halaman dalam Monmus tidak kalah menarik untuk dijadikan obyek foto-foto. Bangunan-bangunan lama yang khas, pepohonan yang rindang, serta jalan-jalan setapaknya yang bersih membuat saya betah berlama-lama duduk di kursi yang ada di beberapa sudut Monmus.

Halaman dalam Monmus
Nah, tunggu apalagi? Masih ingin menikmati diorama yang lainnya? Ingin menikmati suasana sejuk bernuansa militer? Atau ingin menikmati refreshing sarat ilmu, terutama tentang sejarah PETA? Segeralah berkunjung ke Monumen dan Museum PETA di kota Bogor ini ya...


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#24

Wednesday, March 23, 2016

Sejenak Melepas Penat di Pringsewu

Melakukan perjalanan darat dengan roda empat, menjadi bagian episode hidup tersendiri buat saya dan keluarga. Kendaraan roda empat yang Allah percayakan kepada kami beberapa bulan sebelum kelahiran anak keempat, menjadi teman setia kami dalam menempuh perjalanan darat yang cukup panjang itu. Perjalanan yang "harus" kami lakukan untuk kepentingan anak-anak, sesuai tujuan kami memutuskan membeli kendaraan tersebut, disamping tujuan-tujuan lainnya.

Sejak kami pindah dari kota Malang menuju Tangerang Selatan, perjalanan darat menjadi lebih sering kami lakukan. Perjalanan pulang pergi Jakarta Malang menjadi agenda setengah tahunan rutin yang hampir selalu kami lakukan. Melakukan kunjungan rutin menjenguk satu anak kami yang di pesantren juga menjadi agenda rutin penting lainnya. Perjalanan yang cukup memakan waktu dan tenaga.

Dalam perjalanan itu, kami hampir pasti mampir di beberapa warung makan untuk sekadar isi perut sekaligus istirahat sejenak untuk melepas penat selama berkendara. Salah satu warung yang sempat kami hampiri adalah Restoran Taman Pringsewu, yang memang ada di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Restoran ini menjadi pilihan karena anak-anak sangat menyukainya dan memang menjadi satu restoran yang menurut kami sangat ramah anak. Berikut beberapa hal menarik yang ada di Restoran Taman Pringsewu kota Tegal.

Sesuai namanya, Restoran Taman Pringsewu, resto ini memang kesan "taman"-nya sangat terasa. Halamannya luas dengan desain eksterior yang menarik. Berbagai arena bermain alam ada di sana. Tempat makan berupa gazebo-gazebo untuk lesehan, sangat nyaman dan sangat cocok untuk keluarga dengan anak-anak yang masih kecil-kecil seperti kami. Tapi bagi yang ingin menikmati makan di atas meja--dan duduk di kursi, tempatnya juga tersedia cukup banyak.

ayunan dari ban


becak mini

Yang paling menarik buat anak-anak--khususnya anak-anak saya, adalah atraksi sulap kecil yang dipersembahkan oleh beberapa karyawan resto ini. Di samping sulap kecil, mereka juga tidak pernah lupa untuk memberikan balon yang sudah dibentuk sedemikian rupa. Dan alat-alat sulap kecil yang mereka gunakan--berupa kartu, juga akan diberikan kepada anak-anak untuk dibawa pulang.

pojok khusus yang berisi alat-alat sulap, kalau berminat pengunjung bisa membeli
anak-anak sedang menunggu satu karyawan resto membentuk balon buat mereka

Di resto ini juga terdapat pojok khusus yang disebut "Gazebo Pintar". Di gazebo itu ada sebuah Magic Box, lukisan Dinosaurus 4 dimensi, dan alat-alat permainan yang menggunakan konsep fisika, salah satunya perambatan suara/bunyi.

Gazebo Pintar
 gambar dinosaurus 4 dimensi

Magic Box

Ada satu lagi yang sering menarik perhatian pengunjung resto ini. Di resto ini ada segerombolan pemusik yang membawa galon, terompet dan alat-alat sederhana lain. Jangan kaget ketika mereka tiba-tiba memainkannya di salah satu gazebo lesehan pengunjung atau di sekitar meja pengunjung. Mereka bukan pengamen lho. Tapi mereka memainkan alat musik itu biasanya atas permintaan tamu di gazebo atau meja yang dimaksud. Itu karena satu dari pengunjung di situ biasanya ada yang lagi merayakan sesuatu, seperti ulang tahun dan hari jadi pernikahan.

segerombol pemusik sedang beratraksi

Resto ini juga menyediakan ruang khusus bagi ibu-ibu yang akan menyusui anaknya. Dan bagi yang ingin merasakan sensasi menikmati sajian resto di ketinggian, di sini juga ada rumah pohon yang bisa ditempati.

ruang untuk ibu menyusui

Beberapa kenyamanan lainnya, resto ini menyediakan tempat parkir yang tersebar di banyak tempat. Bahkan pengunjung bisa memilih untuk parkir di depan gazebo yang mereka pilih untuk tempat mereka makan. Fasilitas umum juga tersedia cukup di sini, yaitu toilet dan kamar mandi. Dan tentu saja, bagi yang muslim, di sini juga terdapat musholla untuk tempat beribadah.

Nah! Kalau teman-teman sedang melakukan perjalanan darat yang cukup jauh dan melintasi kota-kota yang terdapat Restoran Taman Pringsewu di sana, jangan ragu-ragu lagi untuk mampir ya. Nikmati sajian yang ada di sana, dan istirahatlah sejenak sembari menunggu makanan siap dihidangkan.


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#18

Wednesday, March 9, 2016

Pesona Mini Afrika-nya Indonesia

Pernah dengar tidak, kalau Indonesia punya miniatur Afrika? Kawasan hutan yang sengaja dijadikan Taman Nasional, dan "tertutup" dari aktivitas dan hunian manusia. Ya, itulah Taman Nasional Baluran.

Taman Nasional Baluran berada di bagian timur pulau Jawa. Tepatnya di ujung timur wilayah kabupaten Situbondo, tanah kelahiran saya. Lokasinya yang berjarak sekitar 271 km dari Surabaya, ibu kota propinsi Jawa Timur ini, sangat mudah dijangkau. Hanya ada satu jalur untuk menuju ke sana dari Surabaya, yaitu dengan perjalanan darat via jalur pantura. Pengunjung yang datang ke sana bisa memasuki area wisata dengan mengendarai mobil, motor, atau pun jalan kaki. Kalau jalan kaki, siapkan saja tenaga dan perbekalan yang cukup.

Selamat Datang di Baluran

Taman Nasional Baluran memang dikenal sebagai "Mini Afrika"-nya Indonesia. Sebutan itu bukan tanpa alasan. Hal ini karena di Taman Nasional Baluran terdapat padang savana yang menyerupai padang savana di daratan Afrika. Pengunjung bisa menikmati pemandangan padang savana ini dari beberapa sisi yang berbeda, tentu dengan latar yang juga berbeda. Untuk menikmatinya pun, cukup dari jalan yang memang disediakan untuk dilalui kendaraan. Padang savana Bekol, adalah padang savana terluas yang ada di sana.

Ada beberapa lokasi unggulan yang bisa dinikmati pengunjung di Taman Nasional Baluran. Yang utama tentu saja pemandangan alamnya. Dimana perbedaan ekstrim terjadi di dua musim berbeda. Yaitu nuansa warna hijau di musim hujan dan nuansa kecoklatan saat musim kemarau. Begitu juga dengan pepohonan yang ada, akan terlihat rimbun oleh dedaunan dan menghijau di musim hujan, namun daun-daun itu rontok saat musim kemarau.

pemandangan padang savana di musim kemarau dengan latar pepohonan

pemandangan padang savana di musim kemarau dengan latar gunung Baluran

Nama Baluran sendiri merupakan nama gunung yang berdiri kokoh di kawasan Taman Nasional Baluran. Gunung itu tidak hanya menambah indah pemandangan, tapi juga menjadi pelindung bagi beberapa spesies binatang yang hidup dengan bebas di sana. Diantaranya ada rusa, banteng, kerbau, burung merak, monyet dan beberapa spesies lainnya. Dengan terjaganya kawasan Taman Nasional Baluran dari aktivitas dan hunian manusia, berbagai spesies binatang dapat hidup dan berkembang biak dengan bebas di sana. Kalau beruntung, pengunjung bisa melihat berbagai spesies binatang itu sekaligus dalam satu kunjungan. Menurut info dari petugas di sana, bulan September dan Oktober adalah bulan yang cocok untuk berkunjung ke sana. Di bulan-bulan itu, sebagian besar binatang akan mudah terlihat, karena masa itu adalah musim kawin.

pepohonan sekitar gunung Baluran yang terlihat mengering di musim kemarau

Selain hutan, padang savana, dan binatang-binatangnya, di Taman Nasional Baluran juga terdapat pantai yang indah, yaitu Pantai Bama. Pemandangan dan suasana alamnya begitu nyaman untuk dinikmati. Terumbu karangnya juga tidak kalah indah dan cukup terjaga. Karena itu snorkling menjadi aktivitas yang sayang untuk dilewatkan ketika berkunjung ke pantai ini. Hanya saja untuk snorkling, tidak bisa setiap saat dilakukan. Hal ini karena keterbatasan petugas yang melayani kebutuhan pengunjung untuk snorkling. Akan lebih baik jika saat di pintu masuk sudah terlebih dahulu memberitahukan kepada petugas rencana untuk snorkling, sekaligus memperoleh kepastian bisa atau tidaknya snorkling saat itu. Karena jarak pantai dengan pintu masuk lumayan jauh.

  pesona Pantai Bama

Dan bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana malam ala hutan, bisa memilih untuk bermalam. Taman Nasional Baluran menyediakan beberapa pondokan kayu sederhana sebagai tempat menginap. Biayanya juga sangat terjangkau, yaitu kisaran 150 ribu hingga 300 ribu rupiah saja per malam, tergantung jenis pondok yang dipilih. Untuk menjaga suasana alami hutan, ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi pengunjung yang menginap, terutama pada malam hari. Sebaiknya tidak keluar pada malam hari, untuk menghindari serangan binatang buas. Nikmati saja nyanyian angin hutan dan suara-suara binatang malam dari dalam pondok. Meski jarang muncul, macan tutul termasuk spesies yang kabarnya juga menghuni Taman Nasional Baluran.

Bagaimana? Siap menguji nyali untuk berkunjung dan bermalam di sana?

#OneDayOnePost
#keepwriting
#8

Wednesday, May 13, 2015

Menjejakkan Kaki di Kampung Baduy (Luar)

salah satu sudut perkampungan masyarakat Baduy luar

Baduy adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat adat sub etnis Sunda yang tinggal di pedalaman pegunungan di kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Masyarakat Baduy dikenal dengan komitmennya dalam menjaga kelestarian alam dan memegang tradisi yang mereka anut secara turun temurun. Begitu kuatnya dalam memegang tradisi sehingga bisa dikatakan bahwa mereka meng-"isolasi"-kan diri mereka dari dunia luar. Terutama masyarakat Baduy dalam, yang hampir menolak apa pun yang datang dari luar. Dengan adanya obyek wisata kampung masyarakat Baduy, kini orang-orang dari luar Baduy sudah bisa mengenal masyarakat Baduy dan budayanya dari dekat.

Bagi yang belum pernah menjejakkan kaki di perkampungan Baduy, berikut ini sedikit informasi tentang Baduy dan budayanya, rangkuman hasil kunjungan saya.

Baduy terbagi menjadi Baduy dalam dan Baduy luar. Orang-orang Baduy dalam bisa dikenali dari pakaiannya yang berwarna putih dengan ikat kepala putih, dan bawahan para prianya yang serupa sarung, dengan panjang tidak sampai selutut, yang juga berwarna putih. Sementara orang-orang Baduy luar pakaiannya hitam, dan bawahannya sudah menggunakan celana yang panjangnya sedikit melewati lutut.

Perkampungan Baduy luar berbatasan langsung dengan perkampungan non Baduy, sementara perkampungan Baduy dalam letaknya lebih jauh ke dalam. Namun kedua perkampungan itu sama-sama tidak ada yang dialiri listrik, lebih tepatnya sih, tidak boleh ada listrik. Bahkan penerangan lainnya pun juga tidak ada, baik siang maupun malam hari. Namun, justru gelapnya perkampungan Baduy saat malam hari inilah yang menjadi salah satu keunikan yang banyak dicari oleh pengunjung wisata kampung masyarakat Baduy. Jika ingin merasakan hidup tanpa listrik yang tidak dibuat-buat, maka datang dan bermalamlah di kampung Baduy. Untuk bermalam bisa menghubungi tetua kampung. Mereka tidak menetapkan tarif, namun berkisar antara Rp.100.000,- hingga Rp.300.000,- per malamnya, tergantung jumlah orang yang bermalam dalam satu rumah.

Untuk sampai di lokasi Kampung Wisata Masyarakat Baduy, ada beberapa jalur yang bisa dilalui, dengan pemberhentian yang sama, yaitu Terminal Ciboleger. Saya dan suami memilih untuk masuk Ciboleger melalui kota Rangkasbitung. Dari kota Rangkasbitung, kami mengikuti rambu penunjuk arah menuju Leuwidamar. Sampai di pertigaan depan pos polisi Leuwidamar, karena kami menggunakan kendaraan kecil, kami mengambil arah ke kanan. Namun untuk kendaraan besar seperti bus, biasanya akan diarahkan untuk lurus.

berpose di sisi tugu yang ada di terminal Ciboleger

Terminal Ciboleger adalah tempat pemberhentian semua kendaraan pengunjung kampung wisata masyarakat Baduy. Di sekitar terminal ada mini market dan toko-toko yang menjual makanan ringan. Ada juga beberapa warung makan dengan aneka masakan yang bisa jadi pilihan pengunjung yang ingin menambah isi perut sebelum berjalan kaki naik-turun gunung menuju kampung wisata masyarakat Baduy.

Setelah melewati gerbang kampung Baduy, kita sudah bisa langsung menikmati suasana perkampungan masyarakat Baduy beserta aktivitas warganya. Rumah bambu yang cantik, dengan peralatan tenun yang menghiasi teras-teras rumah masyarakat Baduy, beserta para wanitanya yang sedang menenun, menjadi pemandangan yang sangat menarik. Karena lokasinya yang berada di bagian terluar, di depan rumah mereka juga dipajang kain-kain cantik hasil tenunan mereka yang bisa dibeli oleh pengunjung.

melihat wanita Baduy yang sedang menenun di teras rumah

kain dan selendang hasil tenunan wanita Baduy

Menyusuri perkampungan masyarakat Baduy, di sekitarnya kita akan banyak melihat rumah-rumah bambu berukuran kecil dengan satu daun pintu kecil yang terletak di bagian atas. Pintu itu hanya bisa dijangkau dengan menggunakan tangga. Rumah kecil itu adalah Leuit, yang merupakan lumbung padi milik masyarakat Baduy. Menumbuk padi menjadi beras adalah aktivitas lain wanita Baduy di samping menenun. Menenun dan menumbuk padi menjadi dua keahlian yang wajib dikuasai wanita Baduy. Hmm, kedua aktivitas itu memang berhubungan erat dengan kebutuhan dasar manusia, yaitu makan dan berpakaian.

berpose di depan sebuah Leuit

Antara kampung masyarakat Baduy yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh jalanan setapak yang tersusun dari bebatuan. Karena merupakan daerah pegunungan, jarang ada jalanan yang rata. Kalau tidak menanjak, ya, menurun. Bahkan beberapa ada yang cukup curam. Dan beberapa bagian jalan yang curam ada yang dibuat berundak seperti tangga, untuk memudahkan saat mendaki dan menurun.

 jalanan bebatuan yang sebagiannya dibuat berundak

Dari kampung terluar, jarak yang harus ditempuh untuk sampai kampung berikutnya cukup membuat saya berkeringat dan ngos-ngosan. Kampung berikutnya setelah kampung terluar adalah Balimbing. Pada kunjungan saya kali ini, Balimbing menjadi kampung terakhir yang bisa saya jangkau. Balimbing masih termasuk bagian dari kampung Baduy luar. Lokasi Baduy dalam masih lebih jauh ke dalam hutan.


suasana kampung Balimbing dan anak-anak kecilnya yang sedang bermain

Semua bangunan rumah masyarakat Baduy, baik luar maupun dalam, sama-sama terbuat dari anyaman bambu. Salah satu pembeda rumah Baduy dalam dan Baduy luar adalah pintunya. Rumah masyarakat Baduy dalam hanya memiliki satu pintu yang letaknya di samping dan harus menghadap ke utara atau selatan. Sementara Baduy luar banyaknya pintu dan letaknya sudah seperti rumah-rumah pada umumnya. Ada pintu depan, pintu samping, bahkan pintu belakang. Di beberapa rumah Baduy luar masih bisa didapati alat-alat elektronik sederhana seperti jam dinding, yang tidak mungkin bisa ditemui di rumah orang-orang Baduy dalam. Karena adat yang berlaku di Baduy dalam melarang benda apa pun dari luar masuk ke Baduy dalam. Di kampung Baduy luar, beberapa rumahnya juga sudah ada yang dilengkapi dengan sarana MCK.

bagian dalam salah satu rumah di Baduy luar

Antara Balimbing dan kampung berikutnya, yaitu kampung Gazebo, terdapat sungai yang cukup besar yang biasa digunakan sebagai tempat mandi dan cuci oleh masyarakat Baduy. Meski daerah pegunungan, ketersediaan air di sekitar perkampungan masyarakat Baduy sangat memadai. Justru kondisi hutan yang terjaga membuat kualitas air sangat baik dan terasa segar saat diminum.

sungai yang melintasi Balimbing dan Gazebo

Kaum pria suku Baduy biasa melakukan perjalanan, salah satu tujuannya adalah kantor pemerintahan untuk menghadap pada bupati dan menyerahkan hasil bumi mereka. Kebiasaan ini dikenal dengan Seba Baduy. Orang-orang Baduy melakukannya perjalanan itu dengan berjalan kaki, sesekali yang dari Baduy luar melakukannya dengan menaiki kendaraan. Namun orang-orang Baduy dalam hanya melakukannya dengan berjalan kaki.

Hal lain yang unik pada orang-orang Baduy adalah mereka biasa menikah di usia muda. Jadi jangan heran jika mendapati wanita suku Baduy yang masih terlihat belia (remaja) sudah menggendong bayi. Dan orang-orang Baduy hanya boleh menikah dengan orang Baduy juga. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian suku Baduy. Jika ada yang "memaksa" mau menikah dengan orang luar suku Baduy, maka mereka harus keluar dari kampung Baduy dan melepas status sebagai bagian masyarakat Baduy. Termasuk jika orang dari Baduy dalam menikah dengan orang dari Baduy luar, maka orang tersebut (Baduy dalam) sudah tidak boleh lagi menetap di kampung Baduy dalam. Namun mereka masih bisa saling mengunjungi.

Demikian sedikit informasi yang bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat, dan selamat menjejakkan kaki di Kampung Wisata Masyarakat Baduy.


Saturday, April 18, 2015

Visit to Kebun Raya Bogor


Akhir pekan ini mau kemana? Ada yang berencana mengunjungi Kebun Raya Bogor? Ini sedikit informasi tentang Kebun Raya Bogor yang saya rangkum dari hasil kunjungan pertama saya minggu lalu.
Kebun Raya Bogor

Sebagaimana namanya, Kebun Raya Bogor terletak di tengah-tengah kota Bogor. Lokasinya pun mudah dijangkau dan hanya beberapa meter saja dari terminal kota Bogor. Tidak sulit menemukan obyek wisata taman yang satu lokasi dengan Istana Bogor ini, karena kawasannya cukup luas. Di Kebun Raya Bogor juga terdapat obyek wisata lain yang bisa dikunjungi, seperti Museum Zoologi dan Rumah Kaca Anggrek. Namun saya tidak sempat mengunjunginya karena sudah terlalu sore.

Kebun Raya Bogor memiliki banyak pintu masuk, namun hanya pintu utama yang dibuka setiap hari. Biasanya pintu dibuka mulai pukul 07.30 hingga menjelang pukul 5 sore. Pintu 2 dan pintu 4 hanya dibuka pada akhir pekan dan hari-hari libur nasional pada jam yang sama. Sementara pintu 3 khusus dibuka mulai jam 5 sore hingga jam 10 malam. Dari pengalaman saya, jika menggunakan kendaraan roda empat, sebaiknya memilih untuk masuk dari pintu utama yang berada di sisi selatan kebun raya. Lebih mudah mendapatkan tempat untuk parkir mobil. 

beginilah penampakan pintu utama Kebun Raya

Harga tiket masuk cukup terjangkau, yaitu Rp. 14.000,-/orang untuk pengunjung lokal, dan Rp. 25.000,-/orang untuk wisatawan mancanegera. Sementara karcis parkirnya adalah Rp. 5.000,- untuk motor dan Rp. 30.000,- untuk mobil. Nah, di bagian selatan ini, sisi jalan raya bisa juga digunakan untuk parkir mobil. Tentu dengan tarif lebih rendah yang dibayarkan langsung kepada petugas parkir yang tersebar di sepanjang sisi jalan. Bukan lahan parkir resmi kebun raya sih, tapi di sisi jalan itu terdapat garis putih yang menunjukkan bahwa mobil boleh parkir di area itu. Jadi tidak perlu khawatir dengan parkir ilegal ya.

Setelah membeli tiket masuk di pintu utama, jangan lupa untuk meminta peta/denah Kebun Raya kepada petugas di loket informasi. Peta itu akan sangat memudahkan kita saat menjelajah Kebun Raya, apalagi jika kita menjelajahnya dengan berjalan kaki. Dari pintu utama, museum zoologi berada tepat di sisi kirinya. Area yang sama juga menjadi tempat mangkalnya angkutan resmi Kebun Raya. Bagi yang ingin berkeliling Kebun Raya tapi tidak mau "capek" berjalan kaki, bisa menggunakan angkutan ini. Tarifnya Rp. 10.000,-/orang untuk sekali jalan. Di area itu juga terdapat persewaan sepeda keliling (ngengkol ya...) dengan tarif lebih murah, yaitu Rp. 5.000,-/orang.

 
jalan setapak di area Kebun Raya yang kanan-kirinya dipenuhi pohon besar


Begitu masuk area Kebun Raya, kita akan disuguhi pemandangan berupa pepohonan besar serta hamparan rumput dan semak yang hijau. Selama menjelajahi Kebun Raya, kita bisa memilih, mau lewat jalan setapak yang kanan-kirinya dihiasi pohon-pohon besar, atau berjalan di atas hamparan rumput yang dihiasi dedaunan kering. Kita bisa memilih tempat mana saja yang kita sukai untuk beberapa saat istirahat guna melepas lelah sembari menikmati angin segar ala hutan. Tidak perlu khawatir tidak akan kebagian tempat, karena hampir semua tempat bisa dijadikan lokasi untuk menggelar tikar/karpet yang kita bawa. Tinggal pilih view dan suasana yang kita sukai, lalu berhentilah di situ. Misalnya suka dengan suara air deras mengalir, maka pilihlah lokasi yang dekat dengan sungai. Tapi, tetap waspada dengan pohon besar yang batangnya mulai rapuh serta dahan-dahan yang setiap saat bisa patah dan jatuh ke tanah.

ini adalah tanah lapang yang kami pilih untuk menggelar karpet

Di kanan dan kiri jalan setapak juga terdapat beberapa bangku taman yang bisa digunakan untuk istirahat beberapa saat setelah lelah berjalan. Sekitar bangku taman biasanya ada tempat sampah. Jadi tidak ada alasan untuk buang sampah sembarangan ya.

Dalam area Kebun Raya terdapat beberapa lokasi khusus yang bisa dikunjungi dan dinikmati. Dari yang terdekat dengan pintu utama ke arah kanan, kita akan menemukan Taman Meksiko yang berisi berbagai macam tanaman kaktus. Tidak jauh dari Taman Meksiko, di sisi kirinya terdapat Koleksi Tanaman Air. Di sisi timur laut kita bisa melihat berbagai jenis tanaman anggrek di Rumah Kaca Anggrek, serta menikmati keasrian Taman Sudjana Kassan. Istana Bogor menempati hampir seperempat lokasi Kebun Raya yang berada di sisi barat laut. Sementara di sisi barat, selain terdapat dua tugu, yaitu Tugu Reindwardt dan Tugu Lady Raffles, juga terdapat Taman Teijsmann. Kita juga bisa melihat bunga bangkai yang nama latinnya Amorphophallus titanium di lokasi ini.

 pemandangan taman-taman di sekitar cafe de'Daunan

Bagi yang ingin menunaikan sholat, masjid berada di sisi timur Kebun Raya. Kalau hanya butuh toilet, tidak perlu ke masjid, karena toilet tersebar di beberapa lokasi, tinggal pilih toilet yang paling dekat dengan posisi kita berada. Di sisi timur juga terdapat Cafe de'Daunan yang di sekitarnya terdapat beberapa taman dengan air mancur serta ikan-ikan yang memenuhi kolamnya. Hamparan rumput hijaunya sangat nyaman untuk dipakai istirahat beberapa saat sambil membaringkan tubuh.

Area Kebun Raya ini terbilang luas, sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menjelajahinya. Karena itu, akan lebih lengkap jika sebelum datang ke sini, kita sudah menyiapkan bekal yang cukup untuk dinikmati di sini. Jarang-jarang kan, bisa makan siang di tengah alam bebas dengan udara yang segar, angin yang mendesir sejuk dan suara gemercik air yang mengalir deras.

Demikian informasi seputar Kebun Raya Bogor yang bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat!

Wednesday, March 11, 2015

Buah Matoa

 buah matoa

          Dalam kunjungan saya dan suami ke Kalimantan Timur beberapa minggu yang lalu, salah satu yang berkesan adalah ketika sahabat suami memberi saya buah ini. Ya, itu adalah kali pertama saya melihat secara langsung dan merasakan buah matoa. Saya semakin merasa takjub karena buah itu dipetik langsung dari pohon yang ada di halaman rumahnya.
          Tujuan utama suami berkunjung ke rumah sahabatnya tentu untuk silaturahmi, karena sudah sangat lama mereka tidak bertemu. Tapi memang, suami juga berencana untuk memetik buah-buahan di kebun sahabatnya yang hobbi bertanam itu. Namun buah yang menjadi target suami sebenarnya adalah buah naga. Kabarnya, buah naga yang ada di kebun sahabatnya itu sudah siap dipetik. Apalagi tanaman buah naga yang ada di halaman rumah mertua belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berbuah.
          Sebagai buah yang tergolong baru bagi warga di sini, menanam buah naga dan melihatnya berbuah masih menjadi hal yang cukup istimewa. Terasa berbeda dengan saat melihat pohon rambutan berbunga dan berbuah, sudah biasa. Begitu pula saat mendapati buah-buahan lain yang memang banyak tumbuh di daerah Kalimantan, seperti: durian atau lai, dan cempedak.
          Kembali ke kebun buah milik sahabat suami. Setelah say hello dan berbincang beberapa saat, suami pun menanyakan tentang kebun sahabatnya, dan tentu saja buah naganya. Tanpa ba-bi-bu, sahabat suami langsung mengajak kami ke halaman belakang rumahnya. Di sana kami langsung memetik buah naga yang sudah berwarna merah pertanda sudah bisa dimakan. Melihat buah rambutan yang ranum, suami jadi tertarik untuk memetiknya juga. Sekalian, sahabat suami menawarkan buah duku yang beberapa sudah mulai bisa dimakan.

lezatnya makan buah hasil memetik sendiri, 
meski bukan dari kebun sendiri

          Selesai memetik buah, kami melanjutkan dengan memakannya. Nah, di saat sedang asyik menikmati buah-buahan itulah, tiba-tiba sahabat suami meletakkan buah berwarna merah kecoklatan itu di hadapan kami. Saya pun langsung menanyakan buah tersebut yang ternyata adalah buah matoa. Sahabat suami mengatakan kalau buah itu dikenal juga dengan sebutan klengkeng papua. Setelah mencicipi satu buah, saya langsung jatuh cinta terhadap rasanya yang manis. Daging buahnya putih agak kenyal, memang sangat mirip dengan buah klengkeng.

sumber foto:

          Menurut informasi dari Wikipedia, buah matoa yang merupakan buah khas Papua ini umumnya hanya berbuah sekali dalam setahun. Berbunga pada bulan Juli sampai Oktober dan berbuah 3 atau 4 bulan kemudian. Beruntung sekali, ternyata saya datang pada waktu yang sangat tepat. Tepat saat buah matoa ini berbuah dan siap dipetik, dan untuk selanjutnya siap dimakan. Hmm, senangnya bisa menikmati buah yang cukup langka dan kaya vitamin E ini hingga puas, gratis pula.